Home

Minggu, 18 September 2011

The Future that Still Goin' On

Sekarang saya ingin bertanya mengenai cita-cita.
Kita semua pasti ingin mendapatkan masa depan yang baik dan sejahtera.
Waktu masih kanak-kanak dahulu, orangtua selalu mengajarkan kita untuk bercita-cita. Tentunya cita-cita itu selalu yang baik, berkelas, dan tinggi.
Waktu masih kanak-kanak dahulu orangtua telah berupaya mengasosiasikan kita dengan cita-cita yang baik, seperti dokter, insinyur, dan lain-lain.
Kita pun bahkan menambahkan imajinasi-imajinasi unik pada cita-cita tersebut, seperti "aku ingin menjadi astronot karena aku mau bisa terbang ke bulan",
Hei, bayangan tersebut wajar bagi anak-anak karena waktu itu kita mengandaikan jarak bumi ke bulan seperti gambar-gambar di buku kartun atau komik, paling hanya sekitar 30 centi. Bahkan kita sering digembar-gemborkan dengan gambaran manusia super yang terbang ke bulan segitu mudahnya seperti berenang di empang. Swiing...!.

Lambat laun kita menjadi dewasa dan mulai akrab dengan realita. Ketika jaman SMP dan SMA, kalau ditanya tentang cita-cita, jawaban mereka sudah bisa lebih operatif. Rata-rata anak-anak SMP dan SMA sekarang sudah tahu potensi kerja yang menjanjikan karena diri mereka telah akrab dengan realita hidup yang semakin rumit, kompetitif, dan sangat indivdualistis. Mereka, meski belum bisa menemukan istilahnya, telah mengetahui bahwa hidup di masa moderen ini manusia tidak bisa terlepas dari penilaian kuantitatif sebagai akibat dari modernisasi yang kompleks.

Mereka sudah bisa menghadapi kenyataan bahwa terdapat spesialisasi yang sangat rinci dalam kehidupan dewasa ini begitupula dalam hal profesi. Ada yang bekerja di bagian personalia, bagian operasional, dan yang paling dimintai bagian keuangan.

Maka gak heran, jarang murid SMP atau SMA yang masih ingin menjadi astoronot karena mereka tahu pekerjaan tersebut di negeri miskin ini kurang menjanjikan.

Anak muda, sejak dini telah diajarkan untuk berlomba-lomba dalam prestasi. Seperti pedoman hidup kaum perkotaan saat ini yang mereka emban, hidup itu "gue-gue, elo-elo" no mercy. Artinya, kita harus menjadi yang terunggul agar bisa memengangkan kompetisi. Maka, ramailah tes-ters penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi bergengsi. Jurusan yang licin pun laris dipilih calon mahasiswa. Rasio antara peminat dan yang diterima sangat jauh berbeda. Pertarungannya seperti dalam perang Badar. 1 orang pasukan muslim melawan 7 orang pasukan kafir yang jumlahnya banyak.

Lalu, bagaimana dengan orang yang kurang beruntung dalam kompetisi ini?. Tingginya persaingan dan peluang untuk memasuki bidang-bidang menjanjiakn tersebut mengakibatkan banyaknya jumlah kaum-kaum terbuang yang terpaksa memasuki ranah yang bukan menjadi cita-cita orang kebanyakan. Cita-cita ini tidak pernah ada dalam bayangan asosiasi semasa kecil atau cita-cita operatif di masa SMP dan SMA.

Yah, lucu juga kalau melihat masa kecil dulu. Saya gak pernah punya cita-cita menjadi dokter, presiden, apalagi jadi astronot dan penyanyi. Cita-cita saya sangat spesifik sekali "insinyur pertanian". Kenapa saya ingin menjai insinyur pertanian. Sungguh, cita-cita yang terlalu rinci bagi anak kecil waktu itu. Saya hanya tahu tetangga saya yang menjadi insinyur pertanian itu sering membawa pulang parcel dan oleh-oleh dari kantornya. Dan voila! saya pun tanpa tahu apa itu insinyur pertanian serta merta mengklain cita-cita tersebut dan menuliskannya di kolom biodata bahkan di buku alumni SD.

Semakin besar dan beranjak SMA, cita-cita saya bercabang, tapi intinya saya ingin kerja di kantor-kantor seperti orang Jakarta kebanyakan. Saya sangat ingin menjadi sekrtaris. Tapi cita-cita itu tidak memiliki pengaruh kuat yang bisa mendorong aktivitas pencapaian harian saya. Dan bahkan tidak mengubah ideologi saya untuk tetap menjadi muslimah yang menututp aurat. Jadilah, cita-cita tersebut hanya menguap saja.

Cita-cita saya bercabang saat itu. Saya ingin menjadi duta besar juga karena saya selalu mengikuti acara Metro World News, membaca arikel berita internasional dan selalu menyimak perkembangan konflik Timur Tengah, kebijakan presiden Amerika dari Bush sampai Obama, bencana alam di Asia, sejarah Jepang, dan lain-lain.

Bahkan saya ingin menjadi politikus, masuk DPR, jadi gubernur. Kalau saja saya mau melihat realita saat ini, pasti saya eneg sendiri memikirkan bagaimana cara bertahan dalam dunia politik Indonesia yang penuh kemunafikan.

Kemudian, di akhir-akhir masa SMA, mungkin pada masa itu kedewasaan saya mulai terbentuk sempurna, saya menyadari bahwa saya sangat menyukai membaca buku-buku psikologi. Buku-buku itu seperti ingin saya habiskan dalam waktu sekejap saya dan setiap ke toko buku saya selalu mencari buku-buku psikologi, terutama yang membahas tentang motivasi dan kepribadian.

Namun seterusnya, nasib mengantarkan saya pada realitas yang terbesar. Sulitnya persaingan SPMB membuat pikiran saya terbengkalai. Saya gagal masuk jurusan Psikologi. Hingga...saya sekarang mengambil jalur akademis yang dulu tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak saya: menjadi seorang pekerja sosial.

Ya, saya mengambil ilmu kesejahteraan sosial yang jika didefinisikan akan mengantarkan pada penjelasan kebijakan sejarah Ratu Inggris lama, pengalaman bangsa kolonial mendidik bangsa jajahannya, dan terobosan negara-negara kaya di Eropa membentuk sistem jaminan yang menyeluruh sehingga orang-orang miskin di negara ketiga berdecak kagum, "widih..enaknya orang -orang di negara X gak usah kerja udah dapat tunjangan aja".

Pada intinya, disin saya bekerja untuk kemanusiaan. Menangani masalah-masalah sosial di masyarakat. Anak jalanan, kemiskinan, masyarakat daerah tertinggal, penganganan bencana, dan lain-lain. Awalnya saya masih belum bisa menerima hingga kemudian sekarang sedikit-sedikit saya mulai bisa menerimanya terlebih, orang tua sebagai sponsor dan penanggung dana pendidikan saya juga setuju.

Dengan mengumpulan dan menyatukan realita serta harapan saat ini cita-cita saya telah saya rumuskan. Saya pun belajar ilmu bercita-cita dari psikolog-psikolog handal. Yang pertama bercita-cita lah secara SMART yang merupakan akronim dari cerdas, terukur, dapat diraih, ada batas waktunya, dan memungkinkan. Sekarang rumusan cita-cita saya adalah: menjadi PNS di Kemensos atau Dosen di UI.

Mari kita lihat info terbaru soal cita-cita pertama saya. Ada suatu kabar yang menggemparkan dari para petinggi kita di DPR (yang pengen di gampar saja rasanya itu), yakni moratorium PNS, atau bahasa cepetnya 'penghentian penerimaan CPNS'. Rencananya akan sampai tahun 2012, bahkan ada yang sok-sok an minta sampai 2014.

Wahai bapak-bapak dan ibu-ibu tukang tidur di DPR sana, tolong kerja yang benar dan pikirkan nasib mahasiswa baru. Sayang juga ya, tahun ini kehilangan kesempatan untuk mendapatkan PNS yang berkualitas seperti saya, (cieh...narsis). Tapi ya memang setidaknya PNS saat ini emang gak mutu coba kalau PNS diganti dengan yang muda-muda dari universitas negeri yang masuknya aja susah, kemungkinan besar akan lebih baik.

Oke, yang kedua dan mungkin ini yang benar-benar akan menjadi cita-cita saya, yakni menjadi dosen. Ya, dosen. Saya senang menulis artikel, ikut lomba essai, intinya saya suka menulis dan sepertinya tidak akan keberatan jika nantinya harus berurusan dengan kegiatan menulis penelitian atau jurnal atau membaca buku-buku yang banyak. Actually, i love that. Saya suka pekerjaan analitis dan menghasilkan seperti dosen. Namun, pertanyaannya kapan saya bisa jadi dosen?. Belum ada yang memberitahu saya bagaimana tahapan yang harus dilalui untuk menjadi dosen?. Bagaimana kualitas yang diperhitungkan?. Dan cara melamarnya?.
Apakah saya harus kuliah di luar negeri atau cukup S2 di dalam negeri saja? (sukur-sukur saya bisa ambil magister di Australi atau Belanda, nih. Amin. Heheheh....).

Intinya, memang diperlukan usaha yang ekstra dan penuh kesadaran untuk berbuat yang terbaik bagi diri kita sendiri ditambah usaha untuk terus menjaga kualitas akhlak dan ibadah agar cita-cita tersebut mudah terwujud.
Mungkin kita gagal bukan karena kita tidak mampu tapi karena kita seringkali tidak mengoperasionalkan cita-cita tersebut beserta langkah-langkah pencapaiannya dengan lebih rinci. Mungkin kita seringkali mengikuti arus hidup dan terlalu fanatik pada falsafah "Let it flow" dan lupa pada firman Allah swt bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubah nasib mereka sendiri.

*endnote: Doakan cita-cita saya tercapai ya. Semoga dalam waktu dekat saya bisa kepilih jadi dosen di UI atau keterima cpns di kemensos. Amin ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar