Home

Rabu, 12 Mei 2010

Kisah Si Bujang dan Pentingnya Pendidikan Terjangkau bagi Anak-Anak Jalanan















Gambar 1. Pendidikan adalah hak setiap anak tidak terkecuali anak-anak jalanan dari golongan ekonomi lemah (Sumber: Doc.Pribadi)


Penampilan anak itu biasa saja, kulitnya sawo matang, tingginya sedang, dan tubuhnya kurus layaknya anak-anak Indonesia pada umumnya. Ia mengenakan kaos hitam dan celana panjang belel yang mengisyaratkan bahwa ia berasal dari keluarga kurang mampu. Bahunya menggotong pikulan kanan-kiri yang terlihat berat. Di dalam pikulan itu terdapat alat-alat untuk menambal sepatu. Jarang aku melihat anak-anak menjadi tukang tambal sepatu. Dan hal itu memang ganjil sekali. Bukankah pada jam-jam seperti ini seharusnya ia berada di sekolah. Kuperhatikan lagi si anak muda itu, kini ia mendapat order. Dua orang bapak tua yang sedang duduk-duduk di bale memanggilnya. Kemudian dengan segera si anak muda itu membuka kotak perkakasnya dan mulai berusaha membetulkan kerusakan pada sepatu si bapak tadi. Terlihat sekali ia agak sedikit bingung, kemudian si bapak menawarinya rokok, “Bujang...ngerokok dulu, yuk!”, dengan santainya ia menawari si bujang tanpa berpikir-pikir dulu. “Anak itu masih muda, pak” batinku. Si bujang dengan terheran-heran mengambil sebatang rokok yang disodorkan bapak itu, meski sedikit kaku ia berusaha terlihat biasa. “Duh, bujang....,” batinku dalam hati berusaha menenangkan diri.

Pertemuanku dengan si bujang tadi tetap membekas hingga saat ini. Adanya realita lain dalam hidup ternyata membuatku sedikit tertegun. Betapa hidup memang sangat keras. Padahal dalam jarak sepelamparan batu dari tempat si bujang terdapat sebuah universitas terbaik di negeri ini, Universitas Indonesia. Di saat anak-anak seumuran bujang memakai seragam putih merah kebanggaan mereka si bujang malah mengenakan baju hitam belel yang sangat tidak rapih. Di saat anak-anak seumuran bujang mendapat pendidikan dan pengajaran yang terbaik, si bujang malah berkelana di jalanan tanpa guru dan orangtua yang mengawasai. Alhasil, ia menyerap apa yang jalanan berikan padanya, kebiasaan merokok tadi salah satunya.

Pendidikan merupakan hak bagi setiap orang, tak terkecuali bagi anak-anak kurang mampu seperti bujang. Hal ini telah tertuang dalam konvensi internasional hak anak yang diratifikasi oleh pemerintah melalaui UU No. 23 tahun 2004. Tidak ada negara yang tidak ingin mengusahakan pendidikan pada setiap warga negaranya. Pemerintah RI sendiri pun baru-baru ini telah mengupayakan pencapaian wajib belajar sembilan tahun. Tetapi agaknya data berkata lain dengan realita. Masih banyak anak-anak yang tidak mampu bersekolah sampai sembilan tahun. Misalnya kasus si bujang tadi.

Sekitar tahun 2008 lalu, saya sempat mengunjungi sebuah yayasan di dekat terminal Depok. Yayasan itu bernama Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM). YABIM merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Yayasan ini terbilang kecil dari segi skala pelayanan dan sumber daya tetapi ia mampu menampung sekitar 2000 anak-anak tidak mampu untuk bersekolah. Yayasan yang didirikan oleh Bapak Nurrohim pada tahun 2001 silam ini berhasil mencetak siswa-siswi yang berakhlak mulia dan berprestasi. Kebanyakan dari siswa di YABIM merupakan anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga miskin. Dulunya, sebelumYABIM berdiri, kondisi terminal Depok memang sangat keras, tidak baik bagi seorang anak untuk berada di sana. Tetapi kemiskinan dan ketiadaan akses pada pendidikan membuat anak-anak yang tinggal di sekitar terminal terpaksa turun ke jalan untuk mencari rezeki apa adanya. Kebanyakan pada akhirnya menjadi anak-anak berandalan. Berdasarkan penuturan Bapak Nurrohim, ada siswa didiknya yang dulu ia temukan telungkup di dalam got dan sedang mabok hingga tak sadarkan diri. Bahkan ada anak siswanya yang tidak tahu sama sekali nama orangtuanya. Singguh miris memang melihat kondisi mereka. Hal ini lah yang menggerakkan Bapak Nurrohim untuk mendirikan YABIM dan memberikan pendidikan kepada mereka.














Gambar 2. Ruang Sekertariat di YABIM sedikit gambaran mengenai kondisi fisik lembaga ini.(sumber: Doc.Pribadi)
















Gambar 3. Suasana ruang kelas di YABIM, meski kecil tapi sangat berguna untuk mentranfer ilmu ke anak didiknya (sumber: Doc.Pribadi)














Gambar 4. Anak-anak didik di YABIM, dahulunya mereka adalah anak jalanan yang tidak mendapat akses pendidikan


Pendidikan akhlak dan pengembangan diri adalah dua hal utama yang diberikan pada peserta didik YABIM. Menurut pak Nurrohim anak jalanan berbeda dengan anak-anak orang kaya yang bisa bersekolah dan memiliki kehidupan yang baik. Tetapi kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak tersebut tetap lah sama, namun jenis pendidikan yang diberikan lebih ditekankan pada keterampilan hidup bagi mereka bukan teori-teori seperti di sekolah umum. Meski demikian pak Nurrohim mengakui adanya kendala dalam hal fasilitas gedung. Ruangan di YABIM tidak mampu untuk menampung ribuan anak jalanan yang sangat antusias itu. Ternyata anak-anak jalanan tersebut sangat tertarik pada pendidikan. Hal ini merupakan suatu potensi tersendiri tetapi sayangnya tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang ada. Untuk pendanaan sendiri, pak Nurrohim menuturkan bahwa donatur swasta lebih sering menyumbang dibanding pemerintah.

Jelaslah bagi kita bahwa pendidikan itu merupakan hak setiap anak, tidak terkecuali anak-anak jalanan seperti si bujang tadi. Hal ini bisa menjadi saran bagi pemerintah dalam mereformasi kembali program pendidikan supaya bisa tepat sasaran dan menjangkau semua kalangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar